Hidup Untuk Mati

By 23.24

Tadi malam di perjalanan pulang, tiba-tiba terlintas dikepalaku tentang suatu hal:

"Hidup untuk apa?"

Ditengah dinginnya angin malam dan deru kendaraan yang berlomba ingin cepat sampai tujuan, berharap dapat bertemu yang dicinta dengan segudang penat dikepala, rasanya agak kurang pas jika justru hal seperti itu yang mengusik konsetrasi berkendara di tengah kota yang katanya wah membahana.

"Hidup untuk mati."

Jawab nuraniku seketika.
Tulisan ini bukan sok menggurui apalagi menceramahi, tapi sepertinya kita hidup di dunia ini semakin hari semakin sulit.
Sulit bukan hanya menggambarkan materi, tapi sesuai arah tulisan ini, sesuatu yang non materi. Suatu hal yang tak bisa dihitung jumlahnya. Hanya bisa dirasa dengan ketentraman dan kedamaian hati.

"Halah, sok banget sih witttt, ngomongnya ga usah yang berat-berat lah. Udah malem nih."
Contoh pengharapan materi berupa bayaran pengganti jam tidur yang berkurang. Oke skip.

Kenapa makin sulit? Padahal di dunia serba modern dan canggih ini semua hal bisa kita dapatkan dengan mudah. Apalagi dengan racun-racun teknologi internet yang luar biasa, semua bisa dengan sekejab mata menjadi mudah dengan ditambah embel-embel "online".
Iya, rasanya tak ada yang sulit lagi dengan kehadiran semua hal "online".
Tak hanya belanja online saja.
Mau makan? Pesan saja layanan ojek online untuk dibelikan makanan.
Mau beres-beres rumah? Bisa. Salon dirumah? Bisa. Sampai bengkel panggilan ketika motor bermasalah dijalan pun bisa ditangani oleh mereka yang bergelut dibidang jasa online ini.

Tapi, dunia yang semakin maju ini sayangnya tidak dibarengi dengan manusianya yang bertambah maju pula.
Ternyata, ungkapan "smart-phone dumb user" tidak salah juga. Banyak orang yang sebenarnya belum siap menerima suatu perubahan, akhirnya ikut-ikutan melakoni trend agar dicap gaul. Muda, tua, sama. Aku pun termasuk di dalamnya.
Seolah hanya dengan satu sentuhan teknologi saja, sudah mampu mencakup semuanya, termasuk: surga.

Lagi-lagi, apa sih esensi dari hidup ini? Bukankah kita hanya hidup sekali. Toh nanti juga mati. Kalau kita sudah tau hidup ini untuk apa, mungkin kita malu. Malu pada Tuhan. Sudah sebegitu baiknya Dia membantu dan menyelamatkan kita dalam hidup ini. Mungkin tadi harusnya kita kelilipan debu, tapi ternyata kita ditolong dengan diturunkannya sedikit hujan untuk membasahi tanah kota yang sudah gersang ulah manusia ini. Mungkin kita harusnya terlambat tiba di tempat kerja, tapi lagi dan lagi Dia menolong kita dengan mengosongkan jalanan yang harusnya padat merayap.

Baik itu pertolongan yang langsung dariNya, ataupun melalui perantara manusia, semua tetap terasa manis ketika kita menerimanya. Lantas? Kita hanya menerima tanpa memberi?
-Maksudnya apa sih wit? Apa yang bisa kita beri?
Kan Tuhan Maha Kaya, pemilik semesta alam.-
Iya iya, memang begitu. Tapi, bukankah dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya itu sudah cukup baik untuk mempersiapkan tujuan hidup kita (mati)?

Ah mungkin iya. Aku masih terlalu bodoh agama. Tapi semoga, sebodoh-bodohnya aku, kalian tak lebih bodoh dari ku ya.
Tetap belajar dan ingat bahwa "Hidup ini untuk Mati".

You Might Also Like

0 komentar