Cerita yang Tidak Diceritakan

By 23.35

Hampir setiap malam selalu berniat untuk: tidur cepet witttt tidur cepet.
Tapi apalah daya otak ini seperti anak balita yang sedang dalam masa golden age; lagi aktif-aktifnya, katanya. Sulit memang untuk membiasakan diri terhadap suatu hal. Padahal itu untuk kebaikan diri sendiri. Untuk tubuh yang sehat, pikiran yang jernih, tapi ya sudahlah. Semoga besok-besok bisa membiasakan diri ya. Ga cuman untuk tidur cepet aja, tapi juga hal-hal baik lainnya. Sekarang, mari kita bahas yang sesuai judul tulisan ini.

Cerita yang tidak diceritakan.
Judul ini hampir sama dengan judul blog ini: untold story.
Tadi berchit-chat ria dengan teman, dia menanggapi dengan saran yang bagus. Apa itu?
Ngomong. Cerita.
Dari situ, aku jadi mikir, kapan terakhir kali aku bercerita, berkeluh kesah secara langsung dan tatap muka untuk mengeluarkan unek-unek yang ada dalam dada? Kalau tidak salah ingat, 3 bulan yang lalu, ketika aku melalang-buana di kota kembang, Bandung. Disana, aku kembali menjadi anak kos. Tinggal bersebelahan dengan Sri, temen yang aku anggap temen deket, udah apet kalo bahasa Sundanya yang artinya udah nempel, lengket. Btw, semoga dia juga beranggapan demikian biar anggapanku ga bertepuk sebelah tangan.

Di Bandung, karena aku kembali menjadi anak kosan, ga sulit rasanya untuk menyesuaikan diri. Menjalani hari di tanah rantau yang paling penting adalah: don't be lonely. Udah tau merantau, tapi ga ada temen, pasti rasanya seperti hidup segan mati tak mau. Hehe lebay sih ya.
Tapi mungkin ada benarnya juga. Manusia adalah makhluk sosial kan, manusia membutuhkan tempat untuk bercerita, kata lainnya, butuh tempat sampah untuk mengeluarkan semua sampah di dalam pikiran. Untungnya selama di Bandung, selalu ada telinga yang siap mendengar segala keluh kesah. Mulai dari semrawutnya jalanan kota, duri-duri di pekerjaan, dramanya percintaan, semua ada yang bersedia mendengar. Kebayang ga sih, kalo udah merantau, ga ada keluarga, ga ada orang yang bisa diajak bercerita, bisa gila kali ya. Semua numpuk di kepala. Ujung-ujungnya apa? Seperti kebanyakan yang terjadi di beberapa negara, ya bunuh diri.
Mereka merasa dunia ini tidak adil, tidak ada yang mau mendengarkannya. Padahal jika saja dia bercerita, paling tidak, dia bisa merasa lega. Karena memang seperti itu hakikatnya manusia diciptakan. Untuk ada saling membantu satu sama lain. Walaupun belum tentu bisa menyelesaikan masalah, setidaknya dengan merasa lega, sedikit banyak bisa membuka pikiran untuk mengambil langkah selanjutnya.

Tapi sayangnya, memang ada beberapa kondisi yang membuat seseorang tidak bisa bercerita. Bahkan, dari banyaknya keluhan teman-teman seperjuangan (baca: yang pernah ngekos), mereka mengeluhkan tidak adanya ruang untuk bercerita, untuk memiliki privasi ketika mereka berada di rumah. Fakta yang unik menurut aku, karena rumah yang seharusnya tempat bersemayam segala cerita, justru tidak menyediakan cukup ruang untuk bercerita dan memiliki privasi. Ya, rumah memang banyak yang di-setting untuk keterbukaan antar penghuninya, agar bisa berinteraksi satu sama lain. Bagi mereka yang terbiasa bercerita dirumah, tentu tidak masalah.
Tapi, apa kabarnya dengan sebaguan yang lain? Orang-orang pemilih, yang hanya bercerita pada orang tertentu saja.
Dan untuk bercerita pada orang tertentu ini, bukan berarti harus bertemu dulu kan?
Bayangkan jika di saat-saat genting, harus bertemu dulu untuk bercerita. Bagaimana jika tengah malam? Bagaimana jika sedang sibuk? Sedang diluar kota? Tentu alat komunikasi lah yang bisa menolong untuk bercerita. Dan lagi, dibutuhkan privasi untuk hal ini. Gimana ceritanya tengah malam nangis dirumah dan didengar orang seisi rumah? Bisa dikira kenapa-napa dong ya. Akhirnya apa? Akhirnya, cerita yang seharusnya diceritakan demi kelangsungan kesehatan mental dimasa depan, tidak bisa dicurahkan. Sedih ya.

Dilatarbelakangi hal-hal tersebut, menjadikan banyak orang yang memendam ceritanya. Bagus jika orang tersebut mengeluarkannya melalui tulisan, atau pergi ke karoke untuk bisa teriak-teruak ga jelas. Kalau tidak bisa juga? Ya tetap dipendam, sampai akhirnya lupa. Lupa bahwa dalam hidup pernah mengalami hal-hal luar biasa, baik senang maupun susah, lupa bahwa sebenarnya cerita kita bisa saja menjadi pencerah bagi orang-orang yang mengetahuinya atau membacanya, lupa bahwa dari cerita tersebut lah kita bisa menambah rasa syukur kita terhadap Allah swt akan hari baru yang lebih baik selanjutnya.

Tapi aku bersyukur, dirumah bisa punya privasi yang memungkinkan untuk nangis sesenggukan, ketawa-ketiwi, atau bahkan nangis kejer sekalipun tanpa menginterupsi penghuni rumah yang sedang lelap dalam tidurnya.

Duh, ini tulisan tentang apa sih wit. Acak-acakan banget. Muter-muter dan "ngutara nyelatan". Tapi yaudah deh, toh ini juga bagian dari bercerita.

You Might Also Like

0 komentar