Perjalanan Keikhlasan

By 14.14

Makna sabar dan ikhlas itu yang bagaimana?

Ketika kau mendapatkan penghianatan dari orang terpercaya.
Ketika rasa sakit itu menusuk bahkan terasa hingga ke ubun-ubun.

Lemas rasanya. Langkah gontai ku keluar dari ruang penuh harapan di sekolah itu.

Adalah ruang TU. Tempat dimana nama-nama dan data siswa bersemayam di dalamnya.
Ya, inilah dunia. Tak luput dari manusia-manusia berhati mulia, pun yang durhaka kepadaNya.

Ada guru yang dengan senang hati mendengar keluh kesah dan membantu dengan susah payah.
Ada pula yang berdalih menyuruhku menunggu diluar untuk menunggu kedatangan guru A yang dituju.
Detik demi detik, menit demi menit pun jam berlalu begitu saja tanpa adanya panggilan dari yang bersangkutan.
Ku coba melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang itu lagi, ku dapati si ibu sedang asik bertelepon ria tanpa menghiraukanku.
Sakitnya lagi adalah, ternyata si ibu A yang dituju telah ada di dalam, yang tak ku ketahui sudah sejak kapan bercengkrama bersama mereka disana.

Baiklah. Sekali lagi ku ceritakan kronologinya.
Respon manusia sewajarnya: pengandaian. Coba saja waktu itu kau begini begitu dek.

Ku senyumi saja sambil menjawab seadanya, yang lagi-lagi telah ku ulangi lagi jawaban serupa.

Tapi satu yang tak habis pikir, bagaimana seorang guru bisa menyangkut-pautkan musibah kehilangan dengan gelar kesarjanaan.

"Loh, apalagi adik sudah lulus kuliah. Mustinya wawasannya lebih luas lagi, sudah tau kalau baiknya begini begitu bla bla bla."

Ibu, kalau tau akan begini juga ya saya tak akan melakukannya.
Si pelaku ini diklaim terpercaya oleh teman saya. Tapi apa? Musibah tetaplah musibah. Atau, boleh ku perjelas maksud ibu adalah "musibah atas kebodohan seorang sarjana?"

Tenang, aku sudah biasa diperlakukan tak menyenangkan oleh orang. Biarlah itu menjadi pelajaran penguatan hati dan tata krama yang tertanam. Dan masih, sampai sekarang senyuman adalah senjata andalan.

Si ibu yang punya wewenang akhirnya membuka data siswa. Tak didapati nama pelaku sebagai orang tua siswa disana. Ada yang mirip, dikonfirmasikan pada si anak, namun ternyata bukan. Oh Tuhan. Kuatkan hatiku atas kenyataan setiap rasa yang begitu menyakitkan.

Bisa dipastikan hasilnya nihil. Tak berdaya rasanya. Pelupuk mata sudah hampir bocor saja ternyata. Entah sudah berapa pengulangan shalawat dan zikir ku lontarkan sejak pertama ku menginjakkan kaki disana. Entah sudah berapa tarikan nafas ku hela tetap menyesakkan dada. 
Ku salami satu per satu pahlawan tanpa tanda jasa itu, tak lupa ku sematkan doa pada mereka, sebagai ungkapan terima kasih tak hingga atas bantuannya. 

Lemas. Langkah gontai dan rembesan air mata sedikit tersamarkan dibalik bingkai kacamata. Ku keluar dan lagi, dalam pengharapan yang besar, ku tunggu sepeda motor suzuki address biru yang mungkin tiba menjemput anaknya.

Tapi, harapan tetaplah harapan. Terasa percuma namun ku pantang berkata percuma.

Hiruk pikuk, panas, perut kosong, lemas, seakan membawaku dalam tanya.
Apa arti ikhlas sebenarnya?

You Might Also Like

0 komentar