Hari ini hari Jumat ternyata. Chatting sama dia isinya cuman nanya jam dan hari doang nih? Hahaha ga deng.
Tapi ada benarnya juga kok, jetlag banget. Mana jam hp ini ga tau masih jam negara mana. Kayanya sih jam Singapura. Jam tangan juga baru diatur ke waktu Jepang itu ketika di tempat tunggu bus di Bandara. Itu juga nanya dulu ke petugas bisnya, hehehe.
Aku nulis ini lagi di terminal bus Sapporo, basu tei no. 10. Harusnya sih tadi aku naik bis yang jam 14:10, tapi ternyata aku telat. Waktu untuk sampai sini lebih lama dari perkiraan aku sebelumnya. Padahal deket loh!
Ya itu tadi, aku lupa hitung waktu geret-geret koper dan edisi nyasar-nyasar cantiknya.
Tau ga, aku telat berapa lama?
2menit coyyyy. 2 menit berbuah 2 jam.
Ya namanya juga Jepang, kalian pasti tau kalo disiplin waktunya tinggi banget. Telat dikit, bhay!.
Untungnya, masih ada bis yang jam 16:10, jadi aku bisa naik bis itu. Setahu aku sih, bis ke Rusutsu ini sehari cuma ada 2. Kebayang kalo aku ga dapet bis yang selanjutnya?
Harus geret2 koper lagi, untuk nginep di hostel lagi, ongkos lagi dan duit lagi.
Ngomong-ngomong, selama aku ngetik tulisan ini, makin lama tangan aku makin kaku. Dingin bok! Gatau berapa suhu disini. Kurang dari 10° sih sepertinya.
Duduk dingin gini bikin ngantuk.
Eh, barusan aku ngerasa laper lagi. Mungkin energi yang sudah ku tabung dari sarapan beli  ketika nyasar di sevel dekat hostel semalam, sudah lenyap dimakan jalanan.
Ada sih, onigiri yang aku beli di Singapore. Tapi kan dingin. Air minum aja kaya air es.
Jepang terkenal dengan antrinya. Kalo dengan keramahannya, sepertinya Indonesia lebih familiar di mata dunia.
Lihat aja nih antrian naik bis. Dibedakan pakai papan.

Saya menemukan kata-kata ini di salah satu platform di internet. Bagaimana tanggapan saya? Yuk dibaca.

Disagree!! Monggo dibaca kalau berkenan. Tulisan ini bukan untuk memojokkan suatu pihak maupun sumber gambar, hanya bermaksud mengemukakan pendapat, bagi yang kurang sependapat mari diskusikan secara sehat.

Wanita itu harus mandiri, harus kuat. Terlepas dari faktor "laki-laki kan mengayomi", bukankah ada istilah "dibalik lelaki hebat, selalu ada wanita luar biasa dibaliknya", ya bagaimana wanita bisa menguatkan laki-lakinya jika ia tidak kuat untuk dirinya sendiri.  Sometimes, someone's strength is other's weakness, and someone's weakness is other's strength. Karena, siapa yang tahu jika dikemudian hari, kekuatan si wanita inilah yang justru menyelamatkan laki-laki from "his weakness ponit". Katanya untuk saling melengkapi. Melengkapi itu, tidak melulu soal antonim kata seperti "yang kuat melengkapi yang lemah", kan? Wanita yang kuat dan mandiri, pasti bisa melengkapi lelakinya juga, kan? Tidak ada manusia yang sempurna, baik lelaki maupun wanita. Justru saling menguatkan, melengkapi dalam kekuatan.

Lelaki yang kuat tidak akan malas mendatangi wanita kuat. Yang ada, justru meningkatkan kualitas diri untuk mampu mengayomi si wanita kuat tsb. Hanya lelaki lemah-kekuatan dan kuat-egonya lah yang akan menganggap seluruh dirinya tak berguna kalau ayomannya ditolak, seperti pada gambar tsb.

Hampir setiap malam selalu berniat untuk: tidur cepet witttt tidur cepet.
Tapi apalah daya otak ini seperti anak balita yang sedang dalam masa golden age; lagi aktif-aktifnya, katanya. Sulit memang untuk membiasakan diri terhadap suatu hal. Padahal itu untuk kebaikan diri sendiri. Untuk tubuh yang sehat, pikiran yang jernih, tapi ya sudahlah. Semoga besok-besok bisa membiasakan diri ya. Ga cuman untuk tidur cepet aja, tapi juga hal-hal baik lainnya. Sekarang, mari kita bahas yang sesuai judul tulisan ini.

Cerita yang tidak diceritakan.
Judul ini hampir sama dengan judul blog ini: untold story.
Tadi berchit-chat ria dengan teman, dia menanggapi dengan saran yang bagus. Apa itu?
Ngomong. Cerita.
Dari situ, aku jadi mikir, kapan terakhir kali aku bercerita, berkeluh kesah secara langsung dan tatap muka untuk mengeluarkan unek-unek yang ada dalam dada? Kalau tidak salah ingat, 3 bulan yang lalu, ketika aku melalang-buana di kota kembang, Bandung. Disana, aku kembali menjadi anak kos. Tinggal bersebelahan dengan Sri, temen yang aku anggap temen deket, udah apet kalo bahasa Sundanya yang artinya udah nempel, lengket. Btw, semoga dia juga beranggapan demikian biar anggapanku ga bertepuk sebelah tangan.

Di Bandung, karena aku kembali menjadi anak kosan, ga sulit rasanya untuk menyesuaikan diri. Menjalani hari di tanah rantau yang paling penting adalah: don't be lonely. Udah tau merantau, tapi ga ada temen, pasti rasanya seperti hidup segan mati tak mau. Hehe lebay sih ya.
Tapi mungkin ada benarnya juga. Manusia adalah makhluk sosial kan, manusia membutuhkan tempat untuk bercerita, kata lainnya, butuh tempat sampah untuk mengeluarkan semua sampah di dalam pikiran. Untungnya selama di Bandung, selalu ada telinga yang siap mendengar segala keluh kesah. Mulai dari semrawutnya jalanan kota, duri-duri di pekerjaan, dramanya percintaan, semua ada yang bersedia mendengar. Kebayang ga sih, kalo udah merantau, ga ada keluarga, ga ada orang yang bisa diajak bercerita, bisa gila kali ya. Semua numpuk di kepala. Ujung-ujungnya apa? Seperti kebanyakan yang terjadi di beberapa negara, ya bunuh diri.
Mereka merasa dunia ini tidak adil, tidak ada yang mau mendengarkannya. Padahal jika saja dia bercerita, paling tidak, dia bisa merasa lega. Karena memang seperti itu hakikatnya manusia diciptakan. Untuk ada saling membantu satu sama lain. Walaupun belum tentu bisa menyelesaikan masalah, setidaknya dengan merasa lega, sedikit banyak bisa membuka pikiran untuk mengambil langkah selanjutnya.

Tapi sayangnya, memang ada beberapa kondisi yang membuat seseorang tidak bisa bercerita. Bahkan, dari banyaknya keluhan teman-teman seperjuangan (baca: yang pernah ngekos), mereka mengeluhkan tidak adanya ruang untuk bercerita, untuk memiliki privasi ketika mereka berada di rumah. Fakta yang unik menurut aku, karena rumah yang seharusnya tempat bersemayam segala cerita, justru tidak menyediakan cukup ruang untuk bercerita dan memiliki privasi. Ya, rumah memang banyak yang di-setting untuk keterbukaan antar penghuninya, agar bisa berinteraksi satu sama lain. Bagi mereka yang terbiasa bercerita dirumah, tentu tidak masalah.
Tapi, apa kabarnya dengan sebaguan yang lain? Orang-orang pemilih, yang hanya bercerita pada orang tertentu saja.
Dan untuk bercerita pada orang tertentu ini, bukan berarti harus bertemu dulu kan?
Bayangkan jika di saat-saat genting, harus bertemu dulu untuk bercerita. Bagaimana jika tengah malam? Bagaimana jika sedang sibuk? Sedang diluar kota? Tentu alat komunikasi lah yang bisa menolong untuk bercerita. Dan lagi, dibutuhkan privasi untuk hal ini. Gimana ceritanya tengah malam nangis dirumah dan didengar orang seisi rumah? Bisa dikira kenapa-napa dong ya. Akhirnya apa? Akhirnya, cerita yang seharusnya diceritakan demi kelangsungan kesehatan mental dimasa depan, tidak bisa dicurahkan. Sedih ya.

Dilatarbelakangi hal-hal tersebut, menjadikan banyak orang yang memendam ceritanya. Bagus jika orang tersebut mengeluarkannya melalui tulisan, atau pergi ke karoke untuk bisa teriak-teruak ga jelas. Kalau tidak bisa juga? Ya tetap dipendam, sampai akhirnya lupa. Lupa bahwa dalam hidup pernah mengalami hal-hal luar biasa, baik senang maupun susah, lupa bahwa sebenarnya cerita kita bisa saja menjadi pencerah bagi orang-orang yang mengetahuinya atau membacanya, lupa bahwa dari cerita tersebut lah kita bisa menambah rasa syukur kita terhadap Allah swt akan hari baru yang lebih baik selanjutnya.

Tapi aku bersyukur, dirumah bisa punya privasi yang memungkinkan untuk nangis sesenggukan, ketawa-ketiwi, atau bahkan nangis kejer sekalipun tanpa menginterupsi penghuni rumah yang sedang lelap dalam tidurnya.

Duh, ini tulisan tentang apa sih wit. Acak-acakan banget. Muter-muter dan "ngutara nyelatan". Tapi yaudah deh, toh ini juga bagian dari bercerita.

Makna sabar dan ikhlas itu yang bagaimana?

Ketika kau mendapatkan penghianatan dari orang terpercaya.
Ketika rasa sakit itu menusuk bahkan terasa hingga ke ubun-ubun.

Lemas rasanya. Langkah gontai ku keluar dari ruang penuh harapan di sekolah itu.

Adalah ruang TU. Tempat dimana nama-nama dan data siswa bersemayam di dalamnya.
Ya, inilah dunia. Tak luput dari manusia-manusia berhati mulia, pun yang durhaka kepadaNya.

Ada guru yang dengan senang hati mendengar keluh kesah dan membantu dengan susah payah.
Ada pula yang berdalih menyuruhku menunggu diluar untuk menunggu kedatangan guru A yang dituju.
Detik demi detik, menit demi menit pun jam berlalu begitu saja tanpa adanya panggilan dari yang bersangkutan.
Ku coba melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang itu lagi, ku dapati si ibu sedang asik bertelepon ria tanpa menghiraukanku.
Sakitnya lagi adalah, ternyata si ibu A yang dituju telah ada di dalam, yang tak ku ketahui sudah sejak kapan bercengkrama bersama mereka disana.

Baiklah. Sekali lagi ku ceritakan kronologinya.
Respon manusia sewajarnya: pengandaian. Coba saja waktu itu kau begini begitu dek.

Ku senyumi saja sambil menjawab seadanya, yang lagi-lagi telah ku ulangi lagi jawaban serupa.

Tapi satu yang tak habis pikir, bagaimana seorang guru bisa menyangkut-pautkan musibah kehilangan dengan gelar kesarjanaan.

"Loh, apalagi adik sudah lulus kuliah. Mustinya wawasannya lebih luas lagi, sudah tau kalau baiknya begini begitu bla bla bla."

Ibu, kalau tau akan begini juga ya saya tak akan melakukannya.
Si pelaku ini diklaim terpercaya oleh teman saya. Tapi apa? Musibah tetaplah musibah. Atau, boleh ku perjelas maksud ibu adalah "musibah atas kebodohan seorang sarjana?"

Tenang, aku sudah biasa diperlakukan tak menyenangkan oleh orang. Biarlah itu menjadi pelajaran penguatan hati dan tata krama yang tertanam. Dan masih, sampai sekarang senyuman adalah senjata andalan.

Si ibu yang punya wewenang akhirnya membuka data siswa. Tak didapati nama pelaku sebagai orang tua siswa disana. Ada yang mirip, dikonfirmasikan pada si anak, namun ternyata bukan. Oh Tuhan. Kuatkan hatiku atas kenyataan setiap rasa yang begitu menyakitkan.

Bisa dipastikan hasilnya nihil. Tak berdaya rasanya. Pelupuk mata sudah hampir bocor saja ternyata. Entah sudah berapa pengulangan shalawat dan zikir ku lontarkan sejak pertama ku menginjakkan kaki disana. Entah sudah berapa tarikan nafas ku hela tetap menyesakkan dada. 
Ku salami satu per satu pahlawan tanpa tanda jasa itu, tak lupa ku sematkan doa pada mereka, sebagai ungkapan terima kasih tak hingga atas bantuannya. 

Lemas. Langkah gontai dan rembesan air mata sedikit tersamarkan dibalik bingkai kacamata. Ku keluar dan lagi, dalam pengharapan yang besar, ku tunggu sepeda motor suzuki address biru yang mungkin tiba menjemput anaknya.

Tapi, harapan tetaplah harapan. Terasa percuma namun ku pantang berkata percuma.

Hiruk pikuk, panas, perut kosong, lemas, seakan membawaku dalam tanya.
Apa arti ikhlas sebenarnya?

Judulnya "Ketika Bolang ilang-ilangan". Jangan remehkan wanita bertubuh "mini". Dengan tinggi badan 150an cm, tidak sedikit yang bertanya "Kamu sendiri?". Ku mengangguk tanda jawaban iya. Biasanya juga kemana2 sendiri. "Kamu berani? Ga takut gitu? Kan jauh" tanya mereka -laki2 maupun perempuan- dengan nada tidak percaya dan dahi yang berkerut. "Bukan saya tidak takut, rasa takut itu pasti ada. Mulai dari duduk dengan orang asing (yang berkemungkinan laki2) di bis selama 10 jam, macet yang bikin takut telat check in, belum lagi turun diterminal jakarta untuk lanjut Damri bandara. Terminal yang...hemm isi sendiri lah ya.
Apalagi jika bisnya tidak masuk ke terminal (mungkin dikejar waktu karena sudah terlahap oleh macet sepanjang perjalanan), harus turun menepi dan mencari "orang terpercaya" untuk ditanya dimana letak Damri bandara. Masuklah aku ke Provost sebelah terminal Kp.R, menanyakan pada petugas berseragam loreng yang sedang berjaga di pos. Atas saran beliau, "ojek ke dalam terminal" karena cukup jauh. Ahhh, terima kasih telah dikasih kisaran harganya pak, sehingga tak tertipu dengan patokan harga yang diberikan dengan sangat paripurna itu.
"Gila, itu semua kamu bawa sendiri barangnya?" tanya mereka lagi sambil gemas melihat koper2 dan ransel yg gendut ini. Ku tertawa mengiyakan. Sebuah koper bagasi dengan berat hampir 20kg, sebuah koper kabin dengan berat 6,7kg, ransel yang gendut juga (Alhamdulillah ga ditimbang, bakalan over baggage). Belum lagi menaikkan ransel dan koper kabin ke atas tempat duduk. Tenang, ini semua belum seberapa. Waktu dari Chitose ke Soetta tahun lalu, koper bagasi 23kg, koper kabin (yang beruntungnya tidak ditimbang, arigatou onee-chan) ransel dan alat tempur musim dingin yg harus dilepas setibanya di Soetta. Berat, ya memang berat.
Tapi tenang, semua bisa dilakukan. Jangan remehkan. For you, "mini squads", be brave, be proud of yourself, your body. Kita terlahir dengan segala kelebihan yang kita miliki. 

Ga terasa udah hampir 2 tahun aja sejak gue pergi ke Jepang. 08 Desember 2015. Diawali dengan berangkat dari Purwokerto jam 8 malam menuju Bandung, yang kemudian dari Bandung naik mini bus (atau elf?) ke Bandara Soekarno Hatta. Setiap hal yang aku alami sejak saat itu, rasanya cuman jadi memori terbuang sia-sia kalau ga aku tulis, bagikan, atau minimal menyimpannya dalam tulisan.

Kali-kali aja bisa bermanfaat untuk orang lain, (iye wit, kalo ada yang baca) haha.
Tapi ya setidaknya, tulisan dan TERUTAMA foto-foto disana ga hilang gitu aja.

By the way, tulisan dan foto-foto yang akan ada di postingan tentang Jepang ini, dilatarbelakangi oleh laptop, si Aa, yang saat ini entah dimana. Dan semua foto, dokumen, apapun itu, aku simpen di Aa tanpa ada back up. Jadi, untuk foto-fotonya nanti, akan aku ambil dari sisa-sisa yang "nyantol" di memori handphone.
Yaa hitung-hitung sebagai usaha penyelamatan foto juga sih.

Soal Aa, kok bisa gitu wit?
Ingin cerita tapi kok ya rasanya nyesek ya.
Ya intiny, si Aa, saat ini sedang ditangan sesosok manusia yang entah bertanggung-jawab atau tidak. I get betrayed by someone.

Semoga, Aa baik-baik saja disana, dan bisa kembali lagi dengan sebaik-baiknya keadaan.
Dan semoga, aku bisa 3K: kuat, kontinu, dan konsisten untuk menulis di blog ini.hehehe

See ya!!

Tadi malam di perjalanan pulang, tiba-tiba terlintas dikepalaku tentang suatu hal:

"Hidup untuk apa?"

Ditengah dinginnya angin malam dan deru kendaraan yang berlomba ingin cepat sampai tujuan, berharap dapat bertemu yang dicinta dengan segudang penat dikepala, rasanya agak kurang pas jika justru hal seperti itu yang mengusik konsetrasi berkendara di tengah kota yang katanya wah membahana.

"Hidup untuk mati."

Jawab nuraniku seketika.
Tulisan ini bukan sok menggurui apalagi menceramahi, tapi sepertinya kita hidup di dunia ini semakin hari semakin sulit.
Sulit bukan hanya menggambarkan materi, tapi sesuai arah tulisan ini, sesuatu yang non materi. Suatu hal yang tak bisa dihitung jumlahnya. Hanya bisa dirasa dengan ketentraman dan kedamaian hati.

"Halah, sok banget sih witttt, ngomongnya ga usah yang berat-berat lah. Udah malem nih."
Contoh pengharapan materi berupa bayaran pengganti jam tidur yang berkurang. Oke skip.

Kenapa makin sulit? Padahal di dunia serba modern dan canggih ini semua hal bisa kita dapatkan dengan mudah. Apalagi dengan racun-racun teknologi internet yang luar biasa, semua bisa dengan sekejab mata menjadi mudah dengan ditambah embel-embel "online".
Iya, rasanya tak ada yang sulit lagi dengan kehadiran semua hal "online".
Tak hanya belanja online saja.
Mau makan? Pesan saja layanan ojek online untuk dibelikan makanan.
Mau beres-beres rumah? Bisa. Salon dirumah? Bisa. Sampai bengkel panggilan ketika motor bermasalah dijalan pun bisa ditangani oleh mereka yang bergelut dibidang jasa online ini.

Tapi, dunia yang semakin maju ini sayangnya tidak dibarengi dengan manusianya yang bertambah maju pula.
Ternyata, ungkapan "smart-phone dumb user" tidak salah juga. Banyak orang yang sebenarnya belum siap menerima suatu perubahan, akhirnya ikut-ikutan melakoni trend agar dicap gaul. Muda, tua, sama. Aku pun termasuk di dalamnya.
Seolah hanya dengan satu sentuhan teknologi saja, sudah mampu mencakup semuanya, termasuk: surga.

Lagi-lagi, apa sih esensi dari hidup ini? Bukankah kita hanya hidup sekali. Toh nanti juga mati. Kalau kita sudah tau hidup ini untuk apa, mungkin kita malu. Malu pada Tuhan. Sudah sebegitu baiknya Dia membantu dan menyelamatkan kita dalam hidup ini. Mungkin tadi harusnya kita kelilipan debu, tapi ternyata kita ditolong dengan diturunkannya sedikit hujan untuk membasahi tanah kota yang sudah gersang ulah manusia ini. Mungkin kita harusnya terlambat tiba di tempat kerja, tapi lagi dan lagi Dia menolong kita dengan mengosongkan jalanan yang harusnya padat merayap.

Baik itu pertolongan yang langsung dariNya, ataupun melalui perantara manusia, semua tetap terasa manis ketika kita menerimanya. Lantas? Kita hanya menerima tanpa memberi?
-Maksudnya apa sih wit? Apa yang bisa kita beri?
Kan Tuhan Maha Kaya, pemilik semesta alam.-
Iya iya, memang begitu. Tapi, bukankah dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya itu sudah cukup baik untuk mempersiapkan tujuan hidup kita (mati)?

Ah mungkin iya. Aku masih terlalu bodoh agama. Tapi semoga, sebodoh-bodohnya aku, kalian tak lebih bodoh dari ku ya.
Tetap belajar dan ingat bahwa "Hidup ini untuk Mati".